welcome ^^

hello, welcome to my blog ^^
this my story and everything i like
enjoyed... \^0^/
Feeds RSS
Feeds RSS

Friday, April 9, 2010

SOSIOLOGI PERTANIAN

KLASIFIKASI PETANI DALAM BERBAGAI JENIS KEBERADAAN PETANI

1. Cultivator

Cultivator atau Peladang berpindah merupakan petani dengan sistem pertanian seperti zaman dahulu yang hidupnya di gua-gua dan tinggal secara berkelompok, kelompok ini terdiri atas beberapa kepala rumah tangga yang keselurahannya dipimpin oleh seorang kepala suku dengan struktur sosial yang homogen.

Pertaniannya mengandalkan unsur hara tanah pada sebuah lahan, kemudian saat unsur hara sudah dianggap tidak dapat lagi memberikan kebaikan pada tanaman maka lahan pun berpindah ke tempat yang masih kaya unsur haranya.

Biasanya, cara atau teknik yang digunakan untuk membuka lahan baru adalah teknik slash and burn atau tebas dan bakar. Mereka mencari lahan-lahan dari hutan yang ditebas dan atau dibakar kemudian ditanami.menggunakan lahannya sendiri

Tiap petani menggunakan lahannya sendiri dan tenaga kerja keluarga. Dia mengadakan lumbung padinya sendiri, menyediakan sendiri bibit, air siraman atau irigasi, pupuk dan peralatan kerja, mengkonsumsi hasil panen pangannya sendiri, dan menukarkan sebagian hasil panennya dengan bahan atau barang keperluan yang lain.

Petani “cultivaror” disebut pula petani subsisten. Prakarsa produksi semata-mata berada dalam tangan petani. Produksinya tidak terpengaruh sama sekali oleh pasar atau rencana pembangunan.

Petani subsisten adalah orang yang merdeka, yang bekerja menurut rencananya sendiri. Dengan sarananya sendiri, dan mengelola usahanya secara mandiri. Petani subsisten dapat disamakan dengan pengrajin (Mosher, 1971: Malassis, 1975).

Keberadaan cultivator sekarang ini relatif terisolasi dari pengaruh-pengaruh kehidupan perkotaan.

Sistem cultivator sebenarnya bisa cukup merugikan, apalagi untuk sekarang ini, karena dinilai sebagai penyebab terjadinya pemanasan global dank kabut asap dari hasil pembakaran hutan dan tidak cukup baik untuk lingkungan, karena ketika hutan dijadikan lahan, maka fungsi hutan sebagai mencegah erosi akan hilang.



Gangguan kabut asap sudah menjadi rutinitas setiap musim kemarau. Daerah-daerah yang menjadi langganan asap ini adalah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan Bengkulu. Kenapa ini terjadi? Karena ada pembakaran lahan pertanian. Di daerah ini, pola bertani memang sebagian masih menggunakan sistem bakar lahan dalam pengolahan lahan sebelum tanam. Cara bertaninya umumnya tebas–bakar–tanam (slash–burn–plant).
Hal ini dilakukan baik oleh penduduk lokal maupun eks transmigran. Kenapa mereka melakukan ini? Penyebab utamanya adalah kekurangan modal dalam berusaha tani dan tenaga kerja. Untuk menghemat uang dan tenaga, sesudah dilakukan pembersihan lahan dengan cara ditebas atau disemprot dengan herbisida selang beberapa hari kemudian, sesudah gulma/semak kering, dilakukan pembakaran. Pola ini terutama terjadi di daerah dengan pola tanam padi hanya satu kali pertahun dan selebihnya tidak ditanami apapun.

Dengan demikian gulma sudah menjadi semak belukar yang tinggi sehingga harus ditebas dan dibakar. Selama Juli 2006 saja telah terjadi 323 titik api di Sumsel, 1365 titik api di Kalteng sampai pada 5 September, 3761 titik api di Jambi sampai pada 22 Agustus (Forest Watch Indonesia, 2006).

Di daerah Sumsel seperti di daerah pasang surut Kabupaten Banyuasin, pembakaran dilakukan secara serentak dalam satu hamparan luas (30–40 ha) per kelompok tani, baru kemudian dibajak dengan menggunakan traktor dan kemudian penanaman benih padi dengan tabur benih langsung. Demikian juga di daerah rawa lebak seperti di Kabupaten Ogan Ilir pola seperti ini dilakukan. Sawah rawa lebak hanya dapat ditanami pada musim kemarau pada waktu air surut.

Tetapi kebakaran lahan karena keteledoran juga banyak terjadi, seperti yang terlihat di sepanjang Palembang–Inderalaya, banyak lahan lebak yang sudah kering terbakar karena kemarau panjang atau keteledoran. Umumnya, lahan lebak di daerah ini sudah selesai panen Agustus–September.

Sebagai informasi, Kabupaten Banyuasin dan Ogan Ilir berbatasan langsung dengan Palembang. Dari survei yang dilakukan penulis ke Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin awal Oktober 2006, pola tebas–bakar–tanam lazim dilakukan pada lahan perkebunan rakyat dan sawah. Hanya tidak dilakukan dalam hamparan yang luas, per individu saja, tapi tetap menjadikan kabut asap sangat tebal. Di Provinsi Riau dan Jambi, pola tebas–bakar–tanam ini juga masih banyak dilakukan terutama oleh penduduk lokal. Jika menanam padi Oktober/November, panen Maret–Juni. Lalu pada Juli–Agustus, mereka menebas/menyemprot herbisida dan membakar hasil tebasan.

Pola membakar lahan ini sudah dilakukan secara turun temurun, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengubahnya. Sebagian besar petani menganggap bahwa dengan membakar lahan, tanah akan lebih subur karena menghasilkan pupuk alam.
Hal ini memang benar. Jika satu dekade lewat banyak dilakukan oleh petani ladang berpindah (shifting cultivation) sekarang oleh petani menetap. Di Sumatra sudah hampir tidak ada lagi pola pertanian berpindah, karena lahan sudah makin terbatas.

Pola ladang berpindah hanya ada di Kalteng, dan Kalbar karena ketersediaan lahan masih tinggi. Di kedua provinsi ini, sistem tebas–bakar–tanam/tugal adalah cara terbaik dengan kondisi tenaga kerja yang sedikit dan hasil padi yang sangat rendah.
Lahan yang sama diolah selama tiga tahun berturut-turut dan kemudian berpindah ke ladang lain. Bisa dibayangkan dengan siklus ladang berpindah 5-10 tahun tinggi semak belukar yang harus dibersihkan dan dibakar. Tapi harus diingat, sistem bakar lahan ini hampir tidak menyebabkan kebakaran hutan karena petani sudah memperhitungkan arah angin dan membuat sekat bakar.

Sekarang, sistem tebas–bakar–tanam malah dilakukan oleh petani menetap di sejumlah daerah di Sumatra, terutama di daerah-daerah marginal dengan pola tanam padi–bera (cuma satu kali musim tanam). Perbuatan mereka itu sulit untuk dihilangkan, karena masalah tenaga kerja pertanian yang semakin langka.

Tenaga kerja potensial keluarga pemukim di sini umumnya pergi merantau mencari kehidupan yang lebih baik ke kota besar atau menjadi TKI ke Malaysia. Akibatnya, upah kerja di sektor pertanian pun menjadi tinggi (Rp 20.000 – 25.000/hari). Itu pun terbatas pada saat pengolahan tanah, tanam, dan panen. Masalah menjadi lebih rumit manakala harga gabah jatuh.

Di sisi lain, di daerah yang dapat ditanami padi dua kali setahun seperti di daerah Belitang-Kabupaten OKU Timur, Purwodadi-Musi Rawas, Sumsel, sistem bakar ini tidak lazim digunakan. Petani di sana cukup dengan menyemprot herbisida dan kemudian membajaknya dengan traktor. Daerah yang melakukan sistem bakar umumnya produktivitas usaha taninya rendah. Pola tanamnya secara umum padi–bera (tidak ditanami).
Main bakar bisa ditekan secara efektif dengan penyuluhan secara intensif, inovasi teknologi baru seperti penggunaan bibit varitas baru berdaya hasil tinggi (Ciherang, Ciliwung, Mikongga, dll), serta intensitas tanam minimal dua kali pertahun apakah padi atau padi–palawija.

Petani yang umumnya berpendapatan rendah ini perlu pula dibantu dengan pengadaan bibit, pupuk, pestisida, herbisida dan akses pemasaran. Banyak petani di daerah ini yang tidak melakukan pemupukan, penyemprotan hama dan gulma, dan penggunaan bibit baru karena keterbatasan modal.

Sekarang para pengusaha perkebunan sangat jarang membakar lahan dalam pembukaan lahan (land clearing), karena sanksi yang lebih tegas dari aparat terkait sesuai dengan UU Perkebunan No.16/2004, Pasal 26 tentang larangan pembukaan lahan dengan pembakaran, Pasal 48, dan 49, tentang sanksi penjara dan denda uang apabila melanggar Pasal 26 tersebut. Cara ini cukup efektif untuk mengurangi pembakaran lahan, tetapi sanksi hukum ini tidak berlaku bagi petani tanaman pangan.

Dibandingkan dengan tahun 1990-an, harus diakui yang dilakukan pemerintah sekarang ini untuk mengurangi gangguan asap sudah jauh lebih baik. Uni Eropa yang sangat concern mendirikan South Sumatera Forest Fire Management Project (SSFFMP) yang bertujuan untuk mengurangi pola pembakaran lahan di desa-desa di Sumsel.
Berbagai bentuk bantuan pemerintah juga diberikan seperti pengadaan bibit, alat mesin pertanian (hand traktor, dsb), pembinaan petani dan PPL yang semuanya bertujuan agar para petani mengubah cara bertani dengan sistem bakar ini.




2. Peasant
Komunitas Peasan (Peasant)
Terdapat bermacam-macam definisi yang mencoba menjelaskan pengertian tentang peasant. Definisi-definisi tersebut pada dasarnya mengacu pada sistem kehidupan peasant yang mengarah pada sifat subsisten, artinya masyarakat dengan tingkat hidup yang minimal atau hanya sekedar untuk hidup. Sistem kehidupan subsisten ini bisa dikarenakan faktor kultural, yaitu sudah menjadi way of life yang diyakini dan membudaya di antara kelompok masyarakat, bisa pula karena faktor struktural yaitu karena faktor kepemilikan tanah.
Sehubungan dengan pola kebudayaan subsisten peasant, Everett M. Rogers mengemukakan tentang karakteristik dari subkultur peasant yaitu saling tidak mempercayai dalam berhubungan antara satu dengan yang lainnya, pemahaman tentang keterbatasan segala sesuatu di dunia, sikap tergantung sekaligus bermusuhan terhadap kekuasaan, familisme yang tebal, tingkat inovasi yang rendah, fatalisme, tingkat aspirasi yang rendah, kurangnya sikap penangguhan kepuasan, pandangan yang sempit mengenai dunia, dan derajat empati yang rendah. Karakteristik sebagaimana dikemukakan oleh Everett M. Rogers tersebut di atas tidak semua cocok dengan karakteristik peasan di Indonesia. Peasan di Indonesia lebih cenderung saling mempercayai antara satu dengan yang lainnya sehingga menimbulkan kebersamaan/kolektivitas yang tinggi.

Sistem Ekonomi Pertanian Mayarakat Desa
Berbicara ekonomi masyarakat desa berarti berbicara tentang bagaimana masyarakat desa memenuhi kebutuhan jasmaniah. Sistem ekonomi masyarakat desa terkait erat dengan sistem pertaniannya. Akan tetapi sistem pertanian masyarakat desa tidak hanya mencerminkan sistem ekonominya melainkan juga mencerminkan sistem nilai, normanorma sosial atau tradisi, adat istiadat serta aspek-aspek kebudayaan lainnya. Pengertian di atas menunjukkan bahwa masyarakat desa menyikapi sistem pertaniannya sebagai way of life.
Sistem pertanian yang ada di Indonesia berdasarkan pembagian dari D. Whitlesey meliputi tipe bercocok tanam di ladang, bercocok tanam tanpa irigasi yang menetap, bercocok tanam yang menetap dan intensif dengan irigasi sederhana berdasarkan tanaman pokok padi, dan pertanian buah-buahan. Sedangkan berdasarkan pembagian dari Frithjof di Indonesia terdapat dua tipe sistem pertanian yaitu perladangan berpindah, pertanian keluarga, dan pertanian kapitalistik. Sedangkan Dr. Murbyarto membedakan dua sistem pertanian yaitu pertanian rakyat dan perusahaan pertanian.
Sehubungan dengan sistem ekonomi maka sistem pertanian meliputi tiga era, yaitu era bercocok tanam yang bersahaja, era pertanian prakapitalistik, dan era pertanian kapitalistik. Pada awal ditemukannya cocok tanam, kegiatan pertanian nenek moyang kita hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri, belum melembaga sebagai pertukaran. Sedangkan pada era pra-kapitalistik, bercocok tanam tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan melainkan juga mencakup kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan pangan. Pada era inilah sistem pertanian mulai identik dengan sistem ekonomi. Pada era kapitalistik, sistem pertanian tidak hanya dikelola untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga melainkan dengan sengaja dan sadar diarahkan untuk meraih keuntungan (profit oriented).
Keterkaitan sistem ekonomi dengan sistem sosial berhubungan dengan tingkat penggunaan teknologinya. Pada masyarakat petani yang belum menggunakan teknologi modern dan belum komersial, maka hubungan-hubungan sosial yang ada menunjukkan keakraban, serba informal, serta permisif. Di lain pihak pertanian yang dikelola dengan menggunakan teknologi modern, hubungan sosialnya cenderung tidak lagi akrab, informal dan permisif.
Ilmu ekonomi tergolong yang paling “minimalis” karena terpaku pada pengamatan bahwa “peasant” itu berusaha dalam pembudidayaan tanaman dan hewan di pedesaan. Antropologi menambahkan aspek kedua, yaitu mengenali masyarakat “peasant” itu dari sejumlah ciri-ciri pola budaya masyarakat. Ilmuwan politik sosial beraliran “ekonomi moral”(Scott) masih menambahkan ciri yang ketiga: masyarakat “peasant” itu dicirikan oleh tingkat sub-ordinasi yang tinggi, terkait pengaruh “patron” yang lebih kuasa.Dibanding dengan itu, Weber menjelaskan ke-kompleks-an “masyarakat peasant”

Peasant adalah petani yang setingkat lebih maju dari cultivator. Cara hidup peasant telah menetap, tidak berpindah-pindah lagi seperti cultivator dan hidup dalam sebuah desa dengan strukrur sosial yang heterogen.
Kegiatan bercocok tanam telah menggunakan teknik-teknik pengolahan yang tidak lagi bergantung pada unsur hara tanah, seperti irigasi untuk pengairan atau menggunakan bajak untuk menggaruk permukaan tanah.

Peasant telah mengenal sistem jual beli, sehingga orientasi produksinya adalah untuk diperjualbelikan, lebih dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja. Untuk dapat memperjualbelikan hasil produksinya, peasant telah memiliki hubungan dengan kehidupan perkotaan sebagai penghasil pangan.
Memahami proses dari “peasant” menjadi “farmer” adalah babak pertama dalam proses memahami modernisasi dan pembangunan: dan masih perlu disambungkan ke proses “dari orang desa menjadi orang kota”!













3. Farmer

Farmer adalah petani modern yang bercocoktanam secara permanen yang memanfaatkan dan menggabungkan banyak macam amsukan yang diambil dari seluruh lingkungan ekonomi. Masukan disediakan oleh kegiatan pendukung pertanian (agri-support), yang sebagian bersifat sebagian bersifat komersil dan sebagian bersifat non-komersil. Yang termasuk komersial ialah pembuatan dan pembagian masukan usahatani (pupuk, pestisida, alat dan mesin pertanian), layanan pemasaran dan pengolahan hasil usahatani, dan kredit untuk membiayai pelaksanaan bertani. Yang bersifat non-komersial mencakup penelitian, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan pertanian.

Farmer hidup dalam lingkungan perusahaan atau komunitas berciri perkotaan yang dikuasai oleh pinpinan perusahaan dengan struktur sosial yang relatif terpolarisasi.

Produksi berorientasi untuk menghasilkan profit atau keuntungan yang besar. Dimana pertanian modern mendapat pengaruh dari lingkungan pertanian (agri-milieu) yang bersifat ekonomi, yaitu. keadaaan pasar domestic, dan fasilitas pengangkutan umum. Bagian lain terdiri dari faktor-faktor politik, yaitu kebijakan pembangunan pertanian dan tingkat peranserta petani dalam proses politik. Lingkungan pertanian juga bergatra budaya, yaitu tradisi dan sistem nilai yang dianut masyarakat, struktur masyarakat, dan tingkat pendidikan umum (Mosher, 1971).

Pertanian modern bersifar komersial dan menjadi bagian penuh dari ekonomi nasional. Pengalihan bahan pangan dari sector pertanian ke sector bukan pertanian tidak lagi ditentukan oleh kebutuhan petani memperoleh tukaran bahan atau barang untuk memenuhi kebutuhan pokok, melainkan ditentukan oleh kekuatan pasar. Usahatani menjadi uasaha bisnis (Harrar,1971; Mallasis, 1975)

Farmer sebagai pertanian modern juga melakukan geraka-gerakan untuk kemajuan dan keadilan untuk mereka. Gerakan petani besar (farmer) di zaman orde baru. Yang pertama terjadi di masyarakat dimana tanah adalah properti kelas penguasa yang tidak selalu terlibat dalam pertanian namun menyewakan atau mendapatkan pendapatan uang tunai atau sejenisnya atau jasa dari petani. Tipe gerakan petani bertujuan menghapuskan kewajiban-kewajiban ini dan mengembalikan tanah ke pemilik sebenarnya. Ketika petani dan tuan tanah berasal dari kelas berbeda seperti terjadi di beberapa negara Amerika Latin dan negara jajahan, maka konflik itu menjadi tajam.

Sebaliknya, gerakan petani modern khususnya terjadi dikalangan petani komersial di satu kawasan panen dimana kerawanan ekonomi hadir. Kecuali adanya petani garapan yang luas, masalah tanah tidak muncul. Isu yang muncul biasanya tentang harga, tingkat bunga dan pajak. Target utama juga adalah pedagang, kreditor dan pemerintah.

Gerakan petani modern sebagai penguasa tidak mengembangkan ideologi yang rinci namun mengangkat tuntutan-tuntutan konkret sehingga lebih dekat dengan gerakan protes. Namun jika penderitaan mereka tidak bisa dihindari, bahkan petani modern menjadi terbuka terhadap gerakan ideologis radikal. Misalnya terjadi pada gerakan petani selama kebangkitan Nazisme.
Gerakan petani mungkin melahirkan kekerasan. Ideologi mereka jika ada mungkin pada saat sama menganut tradisionalisme dan restoratif. Namun biasanya dalam wilayah tradisional kerusuhan petani , komunisme kontemporer mendapatkan dukungan luas khususnya di Eropa selatan dan Amerika Latin.

Bahkan sekarang ini para petani juga mulai diperkenalkan pada teknologi informasi Tujuan Pengenalan Tehnologi Informasi ini bertujuan untuk
1. Membuka wacana petani akan pentingnya Tehnologi Informasi
2. Membentuk petani yang mempunyai SDM petani modern
3. Menjadikan Petani yang mengenal management produksi
4. Menjadikan petani yang dapat melihat peluang pangsa pasar
5. Menjadikan petani yang bewawasan agrobis dan agroindustri

Dengan harapan dikemudian hari tidak akan terdengar lagi kata kata “ jika waktunya panen , harga panenan jatuh dan harga pupuk melambung tinggi wong cilik sudah susah dibikin susah lagi” demikian petani dalam kerugian namun untuk pola tanam berikutnya mereka masih menanam tanaman yang sama ?, jika masyarakat petani memiliki akses Tehnologi “informasi tentu hal ini tidak akan pernah terjadi, setidaknya tidak perlu lagi pemerintah atau pemegang kebijakan yang dijadikan kambing hitam. Bangsa ini adalah bangsa yang kaya dengan kekayaan alam, kekayaan alam yang dimilik adalah nomor tiga setelah Rusia.

Sumber:
http://faperta.ugm.ac.id/ilmu_tanah
www.wikipedia.co.id
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0611/09/opi01.html
penjelasan dosen Sosiologi Pertanian (prof Darmawan Salman)

No comments:

Post a Comment

please your comment.... thanks

do something !!

Sebelum orang berkomitmen,

ada keraguan

kesempatan untuk mundur,

selalu sia-sia

Ketika orang benar-benar berkomitmen...

Tuhan juga bergerak

Segala hal terjadi untuk membantu hal-hal yg tadinya tidak akan terjadi

Serangkaian peristiwa muncul dari keputusan

Memberikan berbagai peristiwa dan pertemuan

serta bantuan materi yang terduga

Yang tak pernah diimpikan orang

Apapun yang dapat kau lakukan atau impikan.

kau dapat memulainya

Keberanian mengandung kegeniusan,

kekuatan

dan keajaiban

Mulailah sekarang.....

(Goethe-Penyair Jerman)

dream and try !

dream and try !

love

musik of the week : EXO K - Baby Don't Cry